BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Perkembangan
ilmu adalah sebuah kemestian seiring bergulirnya dimensi waktu. Hal tersebut
meniscayakan lahirnya varian bidang keilmuan alias spesialisasi yang memetakan
satu ilmu dengan lainnya. Fenomena demikian juga berimplikasi besar terhadap
objek kajian yang dibuahkan tiap bidang keilmuan yang tak ayal berseberangan
satu sama lain.
Dalam Islam, ilmu merupakan salah satu
perantara untuk memperkuat keimanan. Iman hanya akan bertambah dan menguat,
jika disertai ilmu pengetahuan. Seorang ilmuan besar, Albert Einsten mengatakan
bahwa “science without religion is blind and religion without science is
lame”, ilmu tanpa agama buta, dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh.
Ajaran Islam tidak pernah melakukan dikotomi
antar ilmu satu dengan yang lain. Karena dalam pandangan Islam, ilmu agama dan
umum sama saja berasal dari Allah. Islam juga menganjurkan kepada seluruh
umatnya untuk bersungguh-sungguh dalam
mempelajari setiap ilmu pengetahuan. hal ini dikarenakan Al-Qur’an merupakan
sumber dan rujukan utama, ajaran-Nya memuat semua inti ilmu pengetahuan, baik
yang menyangkut ilmu umum maupun ilmu agama.
Pemikiran tentang Rekonstruksi dan integrasi
ilmu pengetahuan dewasa ini dilakukan oleh kalangan intelektual muslim. Secara
totalitas, hal ini dilakukan di tengah ramainya dunia global yang sarat dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan sebuah konsep bahwa umat Islam
akan maju dapat menyusul dan menyamai orang-orang Barat apabila mampu
mentransformasikan dan menyerap secara aktual terhadap ilmu pengetahuan.
Di samping itu terdapat asumsi bahwa ilmu
pengetahuan yang berasal dari negara-negara Barat dianggap sebagai sekuler,
oleh karenanya ilmu tersebut harus ditolak, atau minimal ilmu tersebut harus
dimaknai dan diterjemahkan dengan pemahaman secara islami.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan dari uraian latar
belakang di atas, maka yang menjadi masalah pokok dalam makalah ini yaitu;
1.
Pengertian
Rekonstruksi dan Integrasi Ilmu Pengetahuan
2.
Apakah ilmu pengetahuan dapat diintegrasikan
dalam Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Rekonstruksi dan Integrasi Ilmu Pengetahuan
1. Pengertian Rekontruksi Ilmu Pengetahuan
Rekonstruksi menurut kamus besar bahasa indonesia adalah
pengembalian seperti semula, penyusunan kembali[1].
Sedangkan menurut para ahli mendefinisikan Rekonstruksi sebagaiberikut;
a. B.N
Marbun
Rekonstruksi adalah pengembalian sesuatu ketempatnya
yang semula, Penyusunan atau penggambaran kembali dari bahan-bahan yang ada dan
disusun kembali sebagaimana adanya atau kejadian semula.[2]
b. Ali
Mudhofir
Rekonstruksionisme adalah salah satu aliran dalam
filsafat pendidikan yang bercirikan radikal. Bagi aliran ini
persoalan-persoalan pendidikan dan kebudayaan dilihat jauh kedepan dan bila
perlu diusahakan terbentuknya tata peradaban yang baru.[3]
Dalam mengkaji rekonstruksi ilmu kami mencoba pendekatan
dengan mengkaji dari klasifikasi ilmu, tapi kemudian kami menemui disini
sangatlah sulit karena akan memerlukan penjabaran yang terlalu lebar. Selain
daripada itu adanya banyak sekali perbedaaan pendapat dalam klasifikasi
tersebut. Akhirnya kami hanya mengkaji dari ilmu yang menjadi mainstream besar
dalam ranah keilmuan islam dan hanya dari beberapa pemikir yang kami temukan.[4]
a)
Tauhid
Dalam pemikiran Hassan Hanafi kita akan menemukan upaya rekonstruksi dalam bidang ini. Benar yang dikatakan oleh Hasan Hanafi bahwa Tuhan sebenarnya tidak membutuhkan pengakuan kita atau pensucian kita. Karena ia tidak akan menambah atau mengurangi sedikit pun gengsi ketuhanan Allah. Karena Ia memang maha segalanya alias tidak membutuhkan pensucian dan ibadah dari manusia. Namun, permasalahanya sekarang adalah, justru kitalah yang butuh untuk mengakuiNya. Dengan dasar Tauhid, kita mampu mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah: bahwa segala sesuatu tidak ada yang mampu menandingi-Nya. Deskripsi tentang Tuhan dan sifat-sifat-Nya lebih mengarah kepada pembentukan manusia yang baik. Dia mencoba membawa sesuatu yang sifatnya metafisik Divine diseret kepada hal-hal yang realitis empirik dengan tujuan untuk membentuk manusia yang ideal atau insan kamil. Ini bisa kita lihat dari teologi sifat Wujudnya Allah diarahkan untuk menunjukkan eksistensi manusia, sifat Qidam dirahkan kepada pengalaman sejarah untuk melihat realitas, sifat Baqa diarahkan kepada hal-hal yang konstruktif, sifat mukholafah lilhawadis dirahkan untuk tampil beda dan tidak mengekor, sifat Wahdaniyah diarahkan kepada ekperemintasi kemanusian. Perekonstruksian tentang atribut-atribut esensi subjek ini hanya sebagian kecil dari upaya Hassan Hanafi dalam merekonstruksi pemikiran Tauhid .
Dalam pemikiran Hassan Hanafi kita akan menemukan upaya rekonstruksi dalam bidang ini. Benar yang dikatakan oleh Hasan Hanafi bahwa Tuhan sebenarnya tidak membutuhkan pengakuan kita atau pensucian kita. Karena ia tidak akan menambah atau mengurangi sedikit pun gengsi ketuhanan Allah. Karena Ia memang maha segalanya alias tidak membutuhkan pensucian dan ibadah dari manusia. Namun, permasalahanya sekarang adalah, justru kitalah yang butuh untuk mengakuiNya. Dengan dasar Tauhid, kita mampu mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah: bahwa segala sesuatu tidak ada yang mampu menandingi-Nya. Deskripsi tentang Tuhan dan sifat-sifat-Nya lebih mengarah kepada pembentukan manusia yang baik. Dia mencoba membawa sesuatu yang sifatnya metafisik Divine diseret kepada hal-hal yang realitis empirik dengan tujuan untuk membentuk manusia yang ideal atau insan kamil. Ini bisa kita lihat dari teologi sifat Wujudnya Allah diarahkan untuk menunjukkan eksistensi manusia, sifat Qidam dirahkan kepada pengalaman sejarah untuk melihat realitas, sifat Baqa diarahkan kepada hal-hal yang konstruktif, sifat mukholafah lilhawadis dirahkan untuk tampil beda dan tidak mengekor, sifat Wahdaniyah diarahkan kepada ekperemintasi kemanusian. Perekonstruksian tentang atribut-atribut esensi subjek ini hanya sebagian kecil dari upaya Hassan Hanafi dalam merekonstruksi pemikiran Tauhid .
b)
Fiqh
Masih dalam pemikiran Hassan Hanafi, bahwa sejarah dalam ilmu usul muncul sebagai ilmu yang melahirkan wahyu. Sehingga disini wahyu adalah sebagai penyelaras-penyelaras dengan perjalanan sejarah dan tempat-tempat komunitas serta perbedaannya dengan perbedaan zaman dan tempat. Namun sejarah terjebak dalam tasyri’,yang menjadikan sejarah tidak menjadi sumber hukum setelah Al-Qur’an, sunnah, ijma dan qiyas.
Masih dalam pemikiran Hassan Hanafi, bahwa sejarah dalam ilmu usul muncul sebagai ilmu yang melahirkan wahyu. Sehingga disini wahyu adalah sebagai penyelaras-penyelaras dengan perjalanan sejarah dan tempat-tempat komunitas serta perbedaannya dengan perbedaan zaman dan tempat. Namun sejarah terjebak dalam tasyri’,yang menjadikan sejarah tidak menjadi sumber hukum setelah Al-Qur’an, sunnah, ijma dan qiyas.
Lahirnya Al-qur’an dan Sunnah juga di barengi dengan masa dan
tempat. Juga ijma’ bukan hanya milik ahlul bait, tabi’in atau generasi ketiga,
karena ijma’ adalah milik semua masa. Hal sama juga di kemukakan Dr. M.Amin
Abdullah yang mengatakan bahwa agama juga sebagai fenomena manusia yang dilatar
belakangi oleh antropologis. Jadi apapun produk dari agama itu pasti ada masa
dan tempat yang mewarnainya.
Ada suatu
pendapat yang sangat ekstrem sekali tentang rekonstruksi dalam bidang ini.
Bahwa problem kemanusiaan kontemporer meniscayakan sebuah pembaruan fiqih.
Untuk melakukan pembaruan itu dapat dilakukan pada beberapa level,
yaitu:
Pertama, pembaruan pada level
metodologis. Pembaruan model ini memiliki kesamaan dengan pembaruan yang
dilakukan oleh ulama’ fiqih lain melalui interpretasi terhadap teks-teks fiqih
secara kontekstual, bermadzhab secara metodologis, dan verifikasi antara ajaran
yang pokok (usul) dan cabang (furu’). Untuk melakukan pola ini diperlukan dua
langkah elemental;
v
melakukan dekonstruksi (al-qati’ah
al-ma’rafiyyah) dengan melakukan pembacaan kritis untuk mengungkap “kepentingan
dan ideologi” di balik konsepsi fiqih yang ada dalam teks.
v
melakukan rekonstruksi (al-tawasul al-ma’rafy)
sebagai upaya kontekstualisasi konsep fiqih tersebut dengan problem kemanusiaan
kontemporer. Dalam konsep hubungan antaragama misalnya, fiqih harus
mempertimbangkan faktor keragaman masyarakat dan harus memberikan perhatian yang
lebih terhadap non-Muslim.
Kedua, pembaruan pada level etis.
Khazanah fiqih yang berkembang dalam masyarakat seakan-akan menyediakan sesuatu
yang baku, akibatnya produk fiqih adalah produk yang formalistik dan
legalistik. Di sini, perlu pembaruan fiqih yang lebih bernuansa sosial etis.
Fiqih tidak sekadar membahas hukum halal-haram, melainkan membahas tujuan hukum
(maqasid al-syari’ah).
Ketiga, pembaruan pada level filosofis.
Pada level ini, fiqih terbuka terhadap filsafat dan teori-teori sosial
kontemporer. Ini penting agar fiqih dapat memotret realitas sosial secara
komprehensif. Contoh yang tepat dalam hal ini adalah fiqih terhadap
konsep kewarganegaraan dan demokrasi.
c.
Tasawuf
Para pemikir progresif sekarang menolak tasawuf serta memandangnya sebagai penyebab dekadensi kaum Muslimin. Tasawuf pada sejarahnya sesungguhnya merupakan gerakan anti kemewahan, arogansi, gila kekuasaan dan kompetisi duniawi, setelah perlawanan partai-partai oposisi dari imam-imam ahl al-bayt, yang dimulai dari saat Ali dan Husein mengalami kekalahan. Maka, ketika kekuasaan dinasti Umayyah mulai mapan, orang-orang meninggalkan gebyar duniawi yang dinilai sebagai penyebab perpecahan dan pertumpahan darah. Prinsip yang mereka gunakan adalah menyelamatkan diri sendiri jika tak dapat menyelamatkan orang lain dan tetap dalam kesucian roh-batiniah jika tak mampu menegakkan syari’at dalam kehidupan Islam, lalu, berubah dari suatu gerakan horizontal dalam sejarah menjadi gerakan vertikal, yang keluar dari kehidupan dunia. Cita-cita kesejarahan menjadi cita-cita historis; dari milik seluruh umat Islam menjadi milik eksklusif jamaah tarekat belaka. Pada tingkat ekstase (fana`) dan manunggal dengan Tuhan (al-ittihad) secara illusif dan fantastik, para sufi mengakhiri pengembaraan spiritualnya tanpa mengubah dunia.
Para pemikir progresif sekarang menolak tasawuf serta memandangnya sebagai penyebab dekadensi kaum Muslimin. Tasawuf pada sejarahnya sesungguhnya merupakan gerakan anti kemewahan, arogansi, gila kekuasaan dan kompetisi duniawi, setelah perlawanan partai-partai oposisi dari imam-imam ahl al-bayt, yang dimulai dari saat Ali dan Husein mengalami kekalahan. Maka, ketika kekuasaan dinasti Umayyah mulai mapan, orang-orang meninggalkan gebyar duniawi yang dinilai sebagai penyebab perpecahan dan pertumpahan darah. Prinsip yang mereka gunakan adalah menyelamatkan diri sendiri jika tak dapat menyelamatkan orang lain dan tetap dalam kesucian roh-batiniah jika tak mampu menegakkan syari’at dalam kehidupan Islam, lalu, berubah dari suatu gerakan horizontal dalam sejarah menjadi gerakan vertikal, yang keluar dari kehidupan dunia. Cita-cita kesejarahan menjadi cita-cita historis; dari milik seluruh umat Islam menjadi milik eksklusif jamaah tarekat belaka. Pada tingkat ekstase (fana`) dan manunggal dengan Tuhan (al-ittihad) secara illusif dan fantastik, para sufi mengakhiri pengembaraan spiritualnya tanpa mengubah dunia.
Di sini ada tiga tahap rekonstruksi yaitu;
Pertama, Rekonstruksi tahap moral. Dalam
tahap moral, tasawuf muncul sebagai ilmu etika yang bertujuan untuk
menyempurnakan moral individu.
Kedua, Rekonstruksi tahap etiko-psikologis.
Tahap ini mengandung arti bahwa tasawuf maju dari moralitas praktis ke
psikologis individual, dari ilmu perilaku ke psikologi murni nafsu manusi.
Ketiga, Rekonstruksi tahap metafisik.
Tahap ini menjelaskan bahwa ketika sufi melintasi kawasan hati pada jalan
tasawuf, yakni pertengahan, ia sampai pada tahap terakhir yang tidak memerlukan
semua tindakan sebelumnya, karena sufi telah melewati seluruh latihannya dengan
keberhasilan yang gemilang.[5]
2.
Pengertian Integrasi Ilmu Pengetahuan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
Kata “integrasi” berasal dari bahasa latin integer, yang berarti utuh atau
menyeluruh. Berdasarkan arti etimologisnya itu, integrasi dapat diartikan
sebagai pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat.
Integrasi juga berasal dari bahasa
inggris “Integration” yang berarti kesempurnaan keseluruhan. Definisi lain dari
integrasi ialah suatu keadaan dimana kelompok-kelompok etnik beradaptasi
terhadap kebudayaan mayoritas masyarakat, namun masih tetap mempertahankan
kebudayaan mereka masing-masing[6]
Dari dua pengertian diatas dapat diambil suatu kesimpulan
bahwa Integrasi mempunyai dua pengertian, yaitu :
v Pengendalian terhadap konflik dan
penyimpangan dalam suatu sistem tertentu
v Membuat keseluruhan dan menyatukan
unsur-unsur tertentu.
Pengertian integrasi sains dengan
islam dalam konteks sains modern bisa dikatakan sebagai profesionalisme atau
kompetensi dalm satu keilmuan yang bersifat duniawi di bidang tertentu disertai
atau dibangun dengan pondasi kesadaran ketuhanan. keadaran tersebut akan muncul
dengan adanya pengetahuan dasar tentang ilmu-ilmu keislaman. oleh sebab itu,
ilmu dan kepribadian merupakn dua aspek yang saling menopang satu sama lain dan
secara bersama-sama menjadi sebuah pondasi bagi pengembangan sains dan
teknologi.[7]
Dengan
demikian, epistemologi islam telah mencoba mengintegrasikan seluruh sumber ilmu
yang bisa dimiliki manusia dalam satu kesatuan yang utuh dan holistik. Karena
dalam tradisi ilimah barat hanya membatasi objeknya pada yang fisik maka metode
utamanya adalah observasi inderawi. Dalam tradisi ilmiah islam selain
menggunakan metode observasi indrawi juga menggunakan metode demostratif
(burhani) dan eksperimen (tarjibi).
Juga
bisa menjadi basis integrasi bagi berbagai jenis pengalaman manusia, baik
yang bersifat inderawi, intelektual, mental, mistikal maupun spiritual. Oleh
karena itu, ilmu yang hendak kita bangun harus, di samping mengakui keabsahan
pengalaman inderawi juga pengalaman-pengalaman manusia yang lebih personal
seperti pengalaman-pengalaman mental, mistik, religius, intelektual dan
spiritual yang subjektivitasnya ternyata juga memiliki basis-basis di dunia non
empiris. Dalam pandangan ilmiah islam, Allah merupakan sumber segala
ilmu.Meskipun Allah tidak langsung memberikan tiap ilmunya kepada setiap manusia.
Untuk ilmu agama sumbernya adalah wahyu yang diturunkan kepadapara nabi, untuk
agama islam yaitu Nabi Muhammad Saw. Sumber dari ilmu-ilmu adalah alam semesta
yang terhampar luas di hadapan kita mulai galaksi-galaksi yang amat luas hingga
atom-atom yang sangat kecil dan juga diri kita sendiri sebagai manusia. Ilmu
umum maupun ilmu agama sebenarnya keduanya sama-sama mengkaji ayat-ayat allah,
hanya saja ilmu agama bersifat qauliyah
sedangkan ilmu umum bersifat kaniyah.[8]
B. Apakah
ilmu pengetahuan dapat diintegrasikan dalam Islam
Ilmu
adalah bagian dari pengetahuan yang terklasifikasi, tersistem dan terukur,
serta dapat dibuktikan kebenarannya secara empiris. Ilmu menurut Al-Qur’an
adalah rangkaian keterangan yang bersumber dari Allah yang diberikan kepada
manusia baik melalui Rasul-Nya atau langsung kepada manusia yang menghendakinya
tentang alam semesta sebagai ciptaan Allah yang bergantung menurut ketentuan
dan kepastian-Nya.
Berbeda
dengan pengertian di atas, Harold H. Titus sebagaimana termaktub dalam buku Ilmu
Pendidikan Islam: Filsafat dan Pengembangan karya Mahfud Junaedi, menjelaskan
bahwa science atau ilmu adalah
1.
A
method of obtaining knowledge that is objective and veriviable;
2.
A
body of systematic knowledge built up through experimentation ang observation
and having a valid theoretical base.
Dari
definisi yang dikemukakan tersebut dapat dipahami bahwa “ilmu” meliputi tiga
kompenen yang saling bertautan dan merupakan kesatuan logis yang mesti ada
serta berurutan. (1) ilmu harus diusahakan dengan aktifitas manusia, (2)
aktifitas itu harus dilaksanakan dengan metode tertentu, dan (3) akhirnya
aktifitas metodis itu mendatangkan pengetahuan yang sistematis.
Bagan
di atas menggambarkan kesatuan dan interaksi antara aktivitas, metode, dan
pengetahuan, sebagaimana digambarkan oleh The Liang Gie. Sementara itu, pengetahuan adalah
keseluruhan pengetahuan yang belum tersusun, baik mengenai metafisik maupun
fisik. Dapat juga dikatakan bahwa pengetahuan adalah informasi yang berupa common
sense, sedangkan ilmu sudah merupakan bagian yang lebih tinggi dari itu
karena memiliki metode dan mekanisme tertentu.
Islam
adalah agama yang mengajarkan bahwa ilmu pengetahuan dan agama merupakan
sesuatu yang saling berkaitan dan saling melengkapi. Agama merupakan sumber
ilmu pengetahuan dan ilmu pengetahuan merupakan sarana untuk mengaplikasikan
segala sesuatu yang tertuang dalam ajaran agama.
Marpuji
Ali dalam karyanya yang berjudul “Buku Kultum: Integritas Iman, Ilmu dan Amal”
menjelaskan bahwa penopang utama kegemilangan peradaban ialah ilmu pengetahuan
dan teknologi. Peradaban Barat berkembang dari perpaduan unsur-unsur
kebudayaan, filsafat, nilai-nilai dan aspirasi Yunani dan Roma Kuno, fusi
dengan agama Yahudi, agama Kristen, peradaban Barat. Perkembangan dan
pembentukan lebih lanjut dilakukan oleh bangsa-bangsa Latin, Germanik, Keltik,
Nordik, dan Salvik.[9]
Esensi
Sains Islam
Wawasan
tentang Dzat berkuasa atas segala sesuatu, yang telah dihilangkan dari Konsepsi
Barat tentang sains merupakan kritik fokus utama dalam teori Islami.
Sesungguhnya faktor pembeda cara berpikir Islami dari cara Barat ialah perihal
keyakinan yang fundamental dari cara berpikir yang pertama, bahwa semua filsuf
muslim, baik dari dunia Islam di Timur yang berpusat di Baghdad, Irak, seperti
al-Kindi, ar-Razi, al-Farabi, para tokoh Ikhwan as Safa, Ibnu Maskawaih, dan
Ibnu Sina, maupun dari dunia Islam belahan Barat yang berpusat di Cordova, Spanyol
seperti Ibnu Bajjah, Ibnu Tufail, dan Ibnu Rusyd, menyakini bahwa Allah
berkuasa atas segala hal dan bahwa segala sesuatunya, termasuk pengetahuan,
berasal dari satu-satunya sumber yang tidak lain, adalah Allah.
The
Unity of Knowledge atau
Integrasi Keilmuan
Lima
ayat pertama surah Al-Alaq, menunjukkan perintah Allah terkait dengan sains,
perintah membaca, menelaah, menghimpun pengetahuan dengan kalimat iqra’
bismi rabbik, menunjukkan bahwa Al-Qur’an tidak sekedar memerintahkan untuk
membaca, tetapi “membaca” adalah lambang dari segala yang dilakukan oleh
manusia baik yang sifatnya aktif maupun pasif. Bisa aktif mengkaji sifat-sifat
Allah, sifat Allah yang disebutkan dalam kitab suci merupakan sumber otentik
pengetahuan tentang Allah. Salah satu sifat Allah yang disebutkan dalam
Al-Qur’an ialah Al-Alim, yang berarti “yang memiliki sains”. Karena memiliki
sains yang membedakan dari malaikat dan dari semua makhluk lainnya, dan melalui
sains orang dapat menggapai kebenaran, dan kebenaran adalah nama lain dari Yang
Riil dan Al-Haqq.
Dari
dimensi Al-Haqq sebagai sumber semua kebenaran. Sudah barang tentu Al-Qur’an
sebagai mediumnya, filsafat Islam berupaya menjelaskan cara Allah menyampaikan
kebenaran hakiki, dengan bahasa pemikiran yang intelektual dan rasional. Tujuan
seorang filsuf, menurut Al-Kindi ialah “mendapatkan kebenaran dan
mengamalkannya, sedangkan bagian paling luhur dari filsafat adalah filsafat
pertama, yakni mengetahui kebenaran pertama (Tuhan) dinamakan filsafat
pertama karena dalam pengetahuan tentang sebab pertama itu terkandung
pengetahuan tentang semua bagian lainnya dari filsafat”. Dengan demikian The
Unity of Knowledge atau kesatuan ayat Qur’aniyyah dengan ayat Kawniyyah,
merupakan integrasi keilmuan yang dapat menjadi sarana penting meningkatkan
keimanan dan haqqa tuqatih (taqwa yang sebenar-benarnya).[10].
Teori
pengetahuan menurut Islam tidak hanya menonjolkan sudut yang khusus dari mana kaum Muslim
memandang ilmu, akan tetapi juga menekankan keharusan yang mendesak untuk
mencari ilmu. Seperti diketahui perintah Allah yang pertama kepada Nabi melalui
wahyu pertama yang diterimanya adalah “bacaan dengan (menyebut) nama Allah”,
dan dari sudut pandang Islam, membaca itu bukan hanya pintu menuju ilmu, akan
tetapi juga cara untuk mengetahui dan menyadari Allah. Oleh sebab itu, ilmu
mempunyai dua tujuan, yakni tujuan Ilahi dan tujuan duniawi.[11]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan.
Dari pembahasan di atas penulis
menyimpulkan bahwa:
Rekonstruksi adalah pengembalian sesuatu
ketempatnya yang semula, salah satu aliran dalam filsafat pendidikan yang
bercirikan radikal. Bagi aliran ini persoalan-persoalan pendidikan dan
kebudayaan dilihat jauh kedepan dan bila perlu diusahakan terbentuknya tata
peradaban yang baru. Seperti dalam islam rekonstruksi ilmu Tauhid, Ilmu Fiqih,
Ilmu Tasawwuf dsb.
Integrasi
mempunyai arti menyatukan dua hal yang berbeda. Atau juga bisa berarti kesempurnaan
keseluruhan. Definisi lain dari integrasi ialah suatu keadaan dimana
kelompok-kelompok etnik beradaptasi terhadap kebudayaan mayoritas masyarakat,
namun masih tetap mempertahankan kebudayaan mereka masing-masing
B. Saran
Dengan
demikian, epistemologi islam telah mencoba mengintegrasikan seluruh sumber ilmu
yang bisa dimiliki manusia dalam satu kesatuan yang utuh dan holistik. Karena
dalam tradisi ilimah barat hanya membatasi objeknya pada yang fisik maka metode
utamanya adalah observasi inderawi. Dalam tradisi ilmiah islam selain
menggunakan metode observasi indrawi juga menggunakan metode demostratif (burhani)
dan eksperimen (tarjibi).
Demikian
yang dapat penulis sampaikan, penulis berharap semoga makalah ini dapat
menambah pengetahuan bagi para pembaca khususnya dan pelajaran bagi penulis
sendiri. Saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan. Demi
perbaikan makalah ini. Semoga
bermanfa’at.
DAFTAR
PUSTAKA
Tim Penyusun, 1995, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal.829
B.N. Marbun, 1996, Kamus Politik,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal.469
Ali Mudhofir, 1996, Kamus Teori
dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi, Gajahmada University Press,
Yogyakarta, hal.213
http:/www.scribd.com/doc/83019545/pengertian-integras,
Turmudi,
dkk, Islam, Sains dan Teknologi Menggagas Bangunan Keilmuan Fakultas Sains dan
Teknologi Islami Masa Depan, (Malang : UIN Maliki Press, 2006), hlm. 15
[1]
Tim Penyusun, 1995, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, hal.829
[2]
B.N. Marbun, 1996, Kamus Politik, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal.469
[3]
Ali Mudhofir, 1996, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi,
Gajahmada University Press, Yogyakarta, hal.213
[4]
Abdul mukmin; http:/www.scribd.com/rekonstruksi-ilmu/pengertian-integras,
diakses pada tanggal 28 Oktober 2015
[5]
Hanafi, Hassan.2007. Islamologi1, Dari
teologi statis ke anarkis.Yogyakarta: LKiS
[6]
http:/www.scribd.com/doc/83019545/pengertian-integras,
diakses pada tanggal 28 Oktober 2015
[7] Turmudi, dkk, Islam, Sains dan Teknologi
Menggagas Bangunan Keilmuan Fakultas Sains dan Teknologi Islami Masa Depan,
(Malang : UIN Maliki Press, 2006), hlm. 15
[8]
http://kangtarto.blogspot.co.id/2008/01/integrasi-ilmu-sebuah-rekonstruksi.html,
diunduh tanggal 5 Nopember 2015
[9]
http://www.slideshare.net/eellylunjani/integrasi-ilmu-pengetahuan-dan-islam-perspektif-filsafat, diunduh tangggal 3 Nopember 2015
[10]
Junaidi, Mahfud. 2010. Ilmu
Pendidikan Islam: Filsafat dan Pengembangan. Semarang: RaSAIL Media Group
[11]
http://www.slideshare.net/eellylunjani/integrasi-ilmu-pengetahuan-dan-islam-perspektif-filsafat, diunduh tangggal 3 Nopember 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar