Senin, 14 Desember 2015

FILSAFAT ILMU



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Perkembangan ilmu adalah sebuah kemestian seiring bergulirnya dimensi waktu. Hal tersebut meniscayakan lahirnya varian bidang keilmuan alias spesialisasi yang memetakan satu ilmu dengan lainnya. Fenomena demikian juga berimplikasi besar terhadap objek kajian yang dibuahkan tiap bidang keilmuan yang tak ayal berseberangan satu sama lain.
Dalam Islam, ilmu merupakan salah satu perantara untuk memperkuat keimanan. Iman hanya akan bertambah dan menguat, jika disertai ilmu pengetahuan. Seorang ilmuan besar, Albert Einsten mengatakan bahwa “science without religion is blind and religion without science is lame”, ilmu tanpa agama buta, dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh.
Ajaran Islam tidak pernah melakukan dikotomi antar ilmu satu dengan yang lain. Karena dalam pandangan Islam, ilmu agama dan umum sama saja berasal dari Allah. Islam juga menganjurkan kepada seluruh umatnya untuk  bersungguh-sungguh dalam mempelajari setiap ilmu pengetahuan. hal ini dikarenakan Al-Qur’an merupakan sumber dan rujukan utama, ajaran-Nya memuat semua inti ilmu pengetahuan, baik yang menyangkut ilmu umum maupun ilmu agama.
Pemikiran tentang Rekonstruksi dan integrasi ilmu pengetahuan dewasa ini dilakukan oleh kalangan intelektual muslim. Secara totalitas, hal ini dilakukan di tengah ramainya dunia global yang sarat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan sebuah konsep bahwa umat Islam akan maju dapat menyusul dan menyamai orang-orang Barat apabila mampu mentransformasikan dan menyerap secara aktual terhadap ilmu pengetahuan.
Di samping itu terdapat asumsi bahwa ilmu pengetahuan yang berasal dari negara-negara Barat dianggap sebagai sekuler, oleh karenanya ilmu tersebut harus ditolak, atau minimal ilmu tersebut harus dimaknai dan diterjemahkan dengan pemahaman secara islami.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan dari uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi masalah pokok dalam makalah ini yaitu;
1.      Pengertian Rekonstruksi dan Integrasi Ilmu Pengetahuan
2.      Apakah ilmu pengetahuan dapat diintegrasikan dalam Islam


















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Rekonstruksi dan Integrasi Ilmu Pengetahuan
1.      Pengertian Rekontruksi Ilmu Pengetahuan
Rekonstruksi menurut kamus besar bahasa indonesia adalah pengembalian seperti semula, penyusunan kembali[1]. Sedangkan menurut para ahli mendefinisikan Rekonstruksi sebagaiberikut;
a.       B.N Marbun
Rekonstruksi adalah pengembalian sesuatu ketempatnya yang semula, Penyusunan atau penggambaran kembali dari bahan-bahan yang ada dan disusun kembali sebagaimana adanya atau kejadian semula.[2]
b.      Ali Mudhofir
Rekonstruksionisme adalah salah satu aliran dalam filsafat pendidikan yang bercirikan radikal. Bagi aliran ini persoalan-persoalan pendidikan dan kebudayaan dilihat jauh kedepan dan bila perlu diusahakan terbentuknya tata peradaban yang baru.[3]
Dalam mengkaji rekonstruksi ilmu kami mencoba pendekatan dengan mengkaji dari klasifikasi ilmu, tapi kemudian kami menemui disini sangatlah sulit karena akan memerlukan penjabaran yang terlalu lebar. Selain daripada itu adanya banyak sekali perbedaaan pendapat dalam klasifikasi tersebut. Akhirnya kami hanya mengkaji dari ilmu yang menjadi mainstream besar dalam ranah keilmuan islam dan hanya dari beberapa pemikir yang kami temukan.[4]
a)      Tauhid
Dalam pemikiran Hassan Hanafi kita akan menemukan upaya rekonstruksi dalam bidang ini. Benar yang dikatakan oleh Hasan Hanafi bahwa Tuhan sebenarnya tidak membutuhkan pengakuan kita atau pensucian kita. Karena ia tidak akan menambah atau mengurangi sedikit pun gengsi ketuhanan Allah. Karena Ia memang maha segalanya alias tidak membutuhkan pensucian dan ibadah dari manusia. Namun, permasalahanya sekarang adalah, justru kitalah yang butuh untuk mengakuiNya. Dengan dasar Tauhid, kita mampu mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah: bahwa segala sesuatu tidak ada yang mampu menandingi-Nya. Deskripsi tentang Tuhan dan sifat-sifat-Nya lebih mengarah kepada pembentukan manusia yang baik. Dia mencoba membawa sesuatu yang sifatnya metafisik Divine diseret kepada hal-hal yang realitis empirik dengan tujuan untuk membentuk manusia yang ideal atau insan kamil. Ini bisa kita lihat dari teologi sifat Wujudnya Allah diarahkan untuk menunjukkan eksistensi manusia, sifat Qidam dirahkan kepada pengalaman sejarah untuk melihat realitas, sifat Baqa diarahkan kepada hal-hal yang konstruktif, sifat mukholafah lilhawadis dirahkan untuk tampil beda dan tidak mengekor, sifat Wahdaniyah diarahkan kepada ekperemintasi kemanusian. Perekonstruksian tentang atribut-atribut esensi subjek ini hanya sebagian kecil dari upaya Hassan Hanafi dalam merekonstruksi pemikiran Tauhid .
b)      Fiqh
Masih dalam pemikiran Hassan Hanafi, bahwa sejarah dalam ilmu usul muncul sebagai ilmu yang melahirkan wahyu. Sehingga disini wahyu adalah sebagai penyelaras-penyelaras dengan perjalanan sejarah dan tempat-tempat komunitas serta perbedaannya dengan perbedaan zaman dan tempat. Namun sejarah terjebak dalam tasyri’,yang menjadikan sejarah tidak menjadi sumber hukum setelah Al-Qur’an, sunnah, ijma dan qiyas.
Lahirnya Al-qur’an dan Sunnah juga di barengi dengan masa dan tempat. Juga ijma’ bukan hanya milik ahlul bait, tabi’in atau generasi ketiga, karena ijma’ adalah milik semua masa. Hal sama juga di kemukakan Dr. M.Amin Abdullah yang mengatakan bahwa agama juga sebagai fenomena manusia yang dilatar belakangi oleh antropologis. Jadi apapun produk dari agama itu pasti ada masa dan tempat yang mewarnainya.
Ada suatu pendapat yang sangat ekstrem sekali tentang rekonstruksi dalam bidang ini. Bahwa problem kemanusiaan kontemporer meniscayakan sebuah pembaruan fiqih. Untuk melakukan pembaruan itu dapat dilakukan pada beberapa level, yaitu:
Pertama, pembaruan pada level metodologis. Pembaruan model ini memiliki kesamaan dengan pembaruan yang dilakukan oleh ulama’ fiqih lain melalui interpretasi terhadap teks-teks fiqih secara kontekstual, bermadzhab secara metodologis, dan verifikasi antara ajaran yang pokok (usul) dan cabang (furu’). Untuk melakukan pola ini diperlukan dua langkah elemental;
v  melakukan dekonstruksi (al-qati’ah al-ma’rafiyyah) dengan melakukan pembacaan kritis untuk mengungkap “kepentingan dan ideologi” di balik konsepsi fiqih yang ada dalam teks.
v  melakukan rekonstruksi (al-tawasul al-ma’rafy) sebagai upaya kontekstualisasi konsep fiqih tersebut dengan problem kemanusiaan kontemporer. Dalam konsep hubungan antaragama misalnya, fiqih harus mempertimbangkan faktor keragaman masyarakat dan harus memberikan perhatian yang lebih terhadap non-Muslim.
Kedua, pembaruan pada level etis. Khazanah fiqih yang berkembang dalam masyarakat seakan-akan menyediakan sesuatu yang baku, akibatnya produk fiqih adalah produk yang formalistik dan legalistik. Di sini, perlu pembaruan fiqih yang lebih bernuansa sosial etis. Fiqih tidak sekadar membahas hukum halal-haram, melainkan membahas tujuan hukum (maqasid al-syari’ah). 
Ketiga, pembaruan pada level filosofis. Pada level ini, fiqih terbuka terhadap filsafat dan teori-teori sosial kontemporer. Ini penting agar fiqih dapat memotret realitas sosial secara komprehensif.   Contoh yang tepat dalam hal ini adalah fiqih terhadap konsep kewarganegaraan dan demokrasi.
c.       Tasawuf
Para pemikir progresif sekarang menolak tasawuf serta memandangnya sebagai penyebab dekadensi kaum Muslimin. Tasawuf pada sejarahnya sesungguhnya merupakan gerakan anti kemewahan, arogansi, gila kekuasaan dan kompetisi duniawi, setelah perlawanan partai-partai oposisi dari imam-imam ahl al-bayt, yang dimulai dari saat Ali dan Husein mengalami kekalahan. Maka, ketika kekuasaan dinasti Umayyah mulai mapan, orang-orang meninggalkan gebyar duniawi yang dinilai sebagai penyebab perpecahan dan pertumpahan darah. Prinsip yang mereka gunakan adalah menyelamatkan diri sendiri jika tak dapat menyelamatkan orang lain dan tetap dalam kesucian roh-batiniah jika tak mampu menegakkan syari’at dalam kehidupan Islam, lalu, berubah dari suatu gerakan horizontal dalam sejarah menjadi gerakan vertikal, yang keluar dari kehidupan dunia. Cita-cita kesejarahan menjadi cita-cita historis; dari milik seluruh umat Islam menjadi milik eksklusif jamaah tarekat belaka. Pada tingkat ekstase (fana`) dan manunggal dengan Tuhan (al-ittihad) secara illusif dan fantastik, para sufi mengakhiri pengembaraan spiritualnya tanpa mengubah dunia.
Di sini ada tiga tahap rekonstruksi yaitu;
Pertama, Rekonstruksi tahap moral. Dalam tahap moral, tasawuf muncul sebagai ilmu etika yang bertujuan untuk menyempurnakan moral individu.
Kedua, Rekonstruksi tahap etiko-psikologis. Tahap ini mengandung arti bahwa tasawuf maju dari moralitas praktis ke psikologis individual, dari ilmu perilaku ke psikologi murni nafsu manusi.
Ketiga, Rekonstruksi tahap metafisik. Tahap ini menjelaskan bahwa ketika sufi melintasi kawasan hati pada jalan tasawuf, yakni pertengahan, ia sampai pada tahap terakhir yang tidak memerlukan semua tindakan sebelumnya, karena sufi telah melewati seluruh latihannya dengan keberhasilan yang gemilang.[5]
2.      Pengertian Integrasi Ilmu Pengetahuan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Kata “integrasi” berasal dari bahasa latin integer, yang berarti utuh atau menyeluruh. Berdasarkan arti etimologisnya itu, integrasi dapat diartikan sebagai pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat.
Integrasi juga berasal dari bahasa inggris “Integration” yang berarti kesempurnaan keseluruhan. Definisi lain dari integrasi ialah suatu keadaan dimana kelompok-kelompok etnik beradaptasi terhadap kebudayaan mayoritas masyarakat, namun masih tetap mempertahankan kebudayaan mereka masing-masing[6]
Dari dua pengertian diatas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa Integrasi mempunyai dua pengertian, yaitu :
v  Pengendalian terhadap konflik dan penyimpangan dalam suatu sistem tertentu
v  Membuat keseluruhan dan menyatukan unsur-unsur tertentu.
               Pengertian integrasi sains dengan islam dalam konteks sains modern bisa dikatakan sebagai profesionalisme atau kompetensi dalm satu keilmuan yang bersifat duniawi di bidang tertentu disertai atau dibangun dengan pondasi kesadaran ketuhanan. keadaran tersebut akan muncul dengan adanya pengetahuan dasar tentang ilmu-ilmu keislaman. oleh sebab itu, ilmu dan kepribadian merupakn dua aspek yang saling menopang satu sama lain dan secara bersama-sama menjadi sebuah pondasi bagi pengembangan sains dan teknologi.[7]
Dengan demikian, epistemologi islam telah mencoba mengintegrasikan seluruh sumber ilmu yang bisa dimiliki manusia dalam satu kesatuan yang utuh dan holistik. Karena dalam tradisi ilimah barat hanya membatasi objeknya pada yang fisik maka metode utamanya adalah observasi inderawi. Dalam tradisi ilmiah islam selain menggunakan metode observasi indrawi juga menggunakan metode demostratif (burhani) dan eksperimen (tarjibi).
Juga bisa menjadi basis integrasi bagi berbagai jenis pengalaman manusia, baik yang bersifat inderawi, intelektual, mental, mistikal maupun spiritual. Oleh karena itu, ilmu yang hendak kita bangun harus, di samping mengakui keabsahan pengalaman inderawi juga pengalaman-pengalaman manusia yang lebih personal seperti pengalaman-pengalaman mental, mistik, religius, intelektual dan spiritual yang subjektivitasnya ternyata juga memiliki basis-basis di dunia non empiris. Dalam pandangan ilmiah islam, Allah merupakan sumber segala ilmu.Meskipun Allah tidak langsung memberikan tiap ilmunya kepada setiap manusia. Untuk ilmu agama sumbernya adalah wahyu yang diturunkan kepadapara nabi, untuk agama islam yaitu Nabi Muhammad Saw. Sumber dari ilmu-ilmu adalah alam semesta yang terhampar luas di hadapan kita mulai galaksi-galaksi yang amat luas hingga atom-atom yang sangat kecil dan juga diri kita sendiri sebagai manusia. Ilmu umum maupun ilmu agama sebenarnya keduanya sama-sama mengkaji ayat-ayat allah, hanya saja ilmu agama bersifat qauliyah sedangkan ilmu umum bersifat kaniyah.[8]

B.     Apakah ilmu pengetahuan dapat diintegrasikan dalam Islam
Ilmu adalah bagian dari pengetahuan yang terklasifikasi, tersistem dan terukur, serta dapat dibuktikan kebenarannya secara empiris. Ilmu menurut Al-Qur’an adalah rangkaian keterangan yang bersumber dari Allah yang diberikan kepada manusia baik melalui Rasul-Nya atau langsung kepada manusia yang menghendakinya tentang alam semesta sebagai ciptaan Allah yang bergantung menurut ketentuan dan kepastian-Nya.
Berbeda dengan pengertian di atas, Harold H. Titus sebagaimana termaktub dalam buku Ilmu Pendidikan Islam: Filsafat dan Pengembangan karya Mahfud Junaedi, menjelaskan bahwa science atau ilmu adalah
1.      A method of obtaining knowledge that is objective and veriviable;
2.      A body of systematic knowledge built up through experimentation ang observation and having a valid theoretical base.
Dari definisi yang dikemukakan tersebut dapat dipahami bahwa “ilmu” meliputi tiga kompenen yang saling bertautan dan merupakan kesatuan logis yang mesti ada serta berurutan. (1) ilmu harus diusahakan dengan aktifitas manusia, (2) aktifitas itu harus dilaksanakan dengan metode tertentu, dan (3) akhirnya aktifitas metodis itu mendatangkan pengetahuan yang sistematis.
Bagan di atas menggambarkan kesatuan dan interaksi antara aktivitas, metode, dan pengetahuan, sebagaimana digambarkan oleh The Liang Gie. Sementara itu, pengetahuan adalah keseluruhan pengetahuan yang belum tersusun, baik mengenai metafisik maupun fisik. Dapat juga dikatakan bahwa pengetahuan adalah informasi yang berupa common sense, sedangkan ilmu sudah merupakan bagian yang lebih tinggi dari itu karena memiliki metode dan mekanisme tertentu.
Islam adalah agama yang mengajarkan bahwa ilmu pengetahuan dan agama merupakan sesuatu yang saling berkaitan dan saling melengkapi. Agama merupakan sumber ilmu pengetahuan dan ilmu pengetahuan merupakan sarana untuk mengaplikasikan segala sesuatu yang tertuang dalam ajaran agama.
Marpuji Ali dalam karyanya yang berjudul “Buku Kultum: Integritas Iman, Ilmu dan Amal” menjelaskan bahwa penopang utama kegemilangan peradaban ialah ilmu pengetahuan dan teknologi. Peradaban Barat berkembang dari perpaduan unsur-unsur kebudayaan, filsafat, nilai-nilai dan aspirasi Yunani dan Roma Kuno, fusi dengan agama Yahudi, agama Kristen, peradaban Barat. Perkembangan dan pembentukan lebih lanjut dilakukan oleh bangsa-bangsa Latin, Germanik, Keltik, Nordik, dan Salvik.[9]
Esensi Sains Islam
Wawasan tentang Dzat berkuasa atas segala sesuatu, yang telah dihilangkan dari Konsepsi Barat tentang sains merupakan kritik fokus utama dalam teori Islami. Sesungguhnya faktor pembeda cara berpikir Islami dari cara Barat ialah perihal keyakinan yang fundamental dari cara berpikir yang pertama, bahwa semua filsuf muslim, baik dari dunia Islam di Timur yang berpusat di Baghdad, Irak, seperti al-Kindi, ar-Razi, al-Farabi, para tokoh Ikhwan as Safa, Ibnu Maskawaih, dan Ibnu Sina, maupun dari dunia Islam belahan Barat yang berpusat di Cordova, Spanyol seperti Ibnu Bajjah, Ibnu Tufail, dan Ibnu Rusyd, menyakini bahwa Allah berkuasa atas segala hal dan bahwa segala sesuatunya, termasuk pengetahuan, berasal dari satu-satunya sumber yang tidak lain, adalah Allah.
The Unity of Knowledge atau Integrasi Keilmuan
Lima ayat pertama surah Al-Alaq, menunjukkan perintah Allah terkait dengan sains, perintah membaca, menelaah, menghimpun pengetahuan dengan kalimat iqra’ bismi rabbik, menunjukkan bahwa Al-Qur’an tidak sekedar memerintahkan untuk membaca, tetapi “membaca” adalah lambang dari segala yang dilakukan oleh manusia baik yang sifatnya aktif maupun pasif. Bisa aktif mengkaji sifat-sifat Allah, sifat Allah yang disebutkan dalam kitab suci merupakan sumber otentik pengetahuan tentang Allah. Salah satu sifat Allah yang disebutkan dalam Al-Qur’an ialah Al-Alim, yang berarti “yang memiliki sains”. Karena memiliki sains yang membedakan dari malaikat dan dari semua makhluk lainnya, dan melalui sains orang dapat menggapai kebenaran, dan kebenaran adalah nama lain dari Yang Riil dan Al-Haqq.
Dari dimensi Al-Haqq sebagai sumber semua kebenaran. Sudah barang tentu Al-Qur’an sebagai mediumnya, filsafat Islam berupaya menjelaskan cara Allah menyampaikan kebenaran hakiki, dengan bahasa pemikiran yang intelektual dan rasional. Tujuan seorang filsuf, menurut Al-Kindi ialah “mendapatkan kebenaran dan mengamalkannya, sedangkan bagian paling luhur dari filsafat adalah filsafat pertama, yakni mengetahui kebenaran pertama (Tuhan) dinamakan filsafat pertama karena dalam pengetahuan tentang sebab pertama itu terkandung pengetahuan tentang semua bagian lainnya dari filsafat”. Dengan demikian The Unity of Knowledge atau kesatuan ayat Qur’aniyyah dengan ayat Kawniyyah, merupakan integrasi keilmuan yang dapat menjadi sarana penting meningkatkan keimanan dan haqqa tuqatih (taqwa yang sebenar-benarnya).[10].
Teori pengetahuan menurut Islam tidak hanya menonjolkan  sudut yang khusus dari mana kaum Muslim memandang ilmu, akan tetapi juga menekankan keharusan yang mendesak untuk mencari ilmu. Seperti diketahui perintah Allah yang pertama kepada Nabi melalui wahyu pertama yang diterimanya adalah “bacaan dengan (menyebut) nama Allah”, dan dari sudut pandang Islam, membaca itu bukan hanya pintu menuju ilmu, akan tetapi juga cara untuk mengetahui dan menyadari Allah. Oleh sebab itu, ilmu mempunyai dua tujuan, yakni tujuan Ilahi dan tujuan duniawi.[11]





BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan.
Dari pembahasan di atas penulis menyimpulkan bahwa:
Rekonstruksi adalah pengembalian sesuatu ketempatnya yang semula, salah satu aliran dalam filsafat pendidikan yang bercirikan radikal. Bagi aliran ini persoalan-persoalan pendidikan dan kebudayaan dilihat jauh kedepan dan bila perlu diusahakan terbentuknya tata peradaban yang baru. Seperti dalam islam rekonstruksi ilmu Tauhid, Ilmu Fiqih, Ilmu Tasawwuf dsb.
Integrasi mempunyai arti menyatukan dua hal yang berbeda. Atau juga bisa berarti kesempurnaan keseluruhan. Definisi lain dari integrasi ialah suatu keadaan dimana kelompok-kelompok etnik beradaptasi terhadap kebudayaan mayoritas masyarakat, namun masih tetap mempertahankan kebudayaan mereka masing-masing
B.     Saran
Dengan demikian, epistemologi islam telah mencoba mengintegrasikan seluruh sumber ilmu yang bisa dimiliki manusia dalam satu kesatuan yang utuh dan holistik. Karena dalam tradisi ilimah barat hanya membatasi objeknya pada yang fisik maka metode utamanya adalah observasi inderawi. Dalam tradisi ilmiah islam selain menggunakan metode observasi indrawi juga menggunakan metode demostratif (burhani) dan eksperimen (tarjibi).
Demikian yang dapat penulis sampaikan, penulis berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan bagi para pembaca khususnya dan pelajaran bagi penulis sendiri. Saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan. Demi perbaikan makalah ini. Semoga bermanfa’at.



DAFTAR PUSTAKA

Tim Penyusun, 1995, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal.829
B.N. Marbun, 1996, Kamus Politik, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal.469
Ali Mudhofir, 1996, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi, Gajahmada University Press, Yogyakarta, hal.213
http:/www.scribd.com/doc/83019545/pengertian-integras,
Turmudi, dkk, Islam, Sains dan Teknologi Menggagas Bangunan Keilmuan Fakultas Sains dan Teknologi Islami Masa Depan, (Malang : UIN Maliki Press, 2006), hlm. 15



[1] Tim Penyusun, 1995, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal.829
[2] B.N. Marbun, 1996, Kamus Politik, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal.469
[3] Ali Mudhofir, 1996, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi, Gajahmada University Press, Yogyakarta, hal.213
[4] Abdul mukmin; http:/www.scribd.com/rekonstruksi-ilmu/pengertian-integras, diakses pada tanggal 28 Oktober 2015
[5] Hanafi, Hassan.2007. Islamologi1, Dari teologi statis ke anarkis.Yogyakarta: LKiS
[6] http:/www.scribd.com/doc/83019545/pengertian-integras, diakses pada tanggal 28 Oktober 2015
[7] Turmudi, dkk, Islam, Sains dan Teknologi Menggagas Bangunan Keilmuan Fakultas Sains dan Teknologi Islami Masa Depan, (Malang : UIN Maliki Press, 2006), hlm. 15
[10] Junaidi, Mahfud. 2010. Ilmu Pendidikan Islam: Filsafat dan Pengembangan. Semarang: RaSAIL Media Group

Tidak ada komentar:

Posting Komentar